Sumber tulisan dan Gambar disini
karambaartmovement.tumblr.com. Karamba Art Movement kembali membuka layarnya dalam pemutaran film yang bertajuk Lajar Tantjap #3. Telegram menjadi pilihan judul film yang diputar selasa malam (20 September 2011) di gazebo B5 milik Seni Rupa Unnes. Tak seperti film-film yang diputar dalam Lajar Tantjap sebelumnya, film yang di sutradarai Selamet Rahardjo ini banyak menampilkan nilai nilai romantis, humanis, kegetiran, absurd, hingga logika-logika yang diabaikan dan adegan atau dialog dimana penonton harus merasakan betapa gairah, emosi dalam menghayati film ini betul betul disadari.
Film yang diangkat dari novel Putu Wijaya ini mampu mengundang perhatian kalangan masyarakat dan mahasiswa di kota semarang untuk berbondong bondong memenuhi ruang gazebo Seni Rupa, walaupun kadang beberapa penonton sering menyengeritkan dahinya lantaran memang cukup terlalu sulit buat film ini untuk diminati remaja sekarang yang hanya ingin menonton film dalam konteks hiburan, bukan pembelajaraan atau setidaknya bisa memetik sesuatu dari sebuah karya audio visual,.
Daku adalah pemeran utama yang dimainkan Sujiwo Tejo di film Telegram, lelaki bali ini bersembunyi dan terperangkap dalam kehidupan khayalnya yang indah dengan Rosa, peran yang dimainkan Ayu Azhari, perempuan muda yang cantik dan mampu mengobati rasa sepi yang membakar dirinya. Film ini menghabiskan sekitar US $ 600 ribu atau Rp 5 milyar dan merupakan produksi bersama Indonesia dan Perancis. Dirilis di tahun 2002, Ayu Azhari adalah pemenang penghargaan di Festival Film Asia Pasifik ke-46 untuk kategori aktris terbaik.
Film sebagai media dalam pemilihan sebuah novel Telegram yang tentunya mengandung risiko yang cukup besar. Faktor utamanya tentulah jalinan plot dan cerita novel Telegram itu sendiri relatif rumit dan banyak berkaitan dengan mekanisme pikiran, dalam hal ini psikologis.
Putu Wijaya mencoba bercerita bagaimana orang-orang berpikir, apa yang dipikirkannya. Tidak semua pikiran bersifat naratif, banyak di antaranya berisi kesan, ingatan, baik yang bisa diverifikasi, maupun hal-hal yang tak dapat diterakan dan dikategorikan. Hampir semua di cerita film ini dimana antara kejadian nyata dan khayal tidak bisa dibedakan, entah ini disengaja atau tidak dengan Selamet Rahadrjo, bisa jadi mungkin ini yang menjadi sebagai kelebihan atau kekurangan di film Telegram.
Di beberapa adegan seperti konflik psikologi yang juga menimpa pikiran-pikiran Daku, antara kekasih nyatanya yang mengajaknya cepat kawin dan kekasih khayalnya yang ingin bercinta tanpa harus kawin. Perhatikan saja kecemburuan pada diri Rosa ketika hujan deras, ia melihat Daku tidur dengan anak angkatnya. Sinta di dalam rumah. Di luar, Rosa berteriak-teriak sembari menggedor pintu, tetapi Daku tidak mendengarnya.
Telegram bukan tipe film berat yang mengajak penonton berpikir. Tapi butuh keseriusan untuk menontonnya, menelaah isinya. Seperti Selamet Rahardjo dan Putu Wijaya yang memiliki arti khusus dari Telegram, karena pengertiannya tidak hanya sekadar benda pos. Telegram adalah kabar tentang kesulitan keluarga tokoh utama yang absurd, kematian seorang ibu sekaligus kekecewaan mereka atas perkembangan Bali yang kini cenderung menjauhi dasar budayanya. Walau idiomnya berupa telegram yang membuat ketakutan hingga mencengkeram hidup seorang pemuda Bali bernama Daku.
*ditulis oleh Sufan Andy Lukman, anggota Karamba Art Movement
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Designed by OddThemes
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar disini, yang sopan ya ! :)