Sumber gambar dan tulisan disini
jogjanews.com Seratus lebih peserta civitas akademika Fakultas Seni dan Bahasa (FBS) Universitas Negeri Semarang (UNNES) mengikuti Diskusi Buku Diksi Rupa karya Mikke Susanto di Ruang Seminar FBS UNESS, Selasa (29/5).
Bedah buku Diksi Rupa ini adalah kegiatan akademik kerjasama antara Mikke Susanto bersama FBS UNNES yang dikerjakan Himpunan Mahasiswa (HEMA) Jurusan Seni Rupa FBS UNNES dengan Fitri Indah Susanti sebagai ketua panitia.
Selain Mikke Susanto sebagai nara sumber, juga ada tiga nara sumber yang menjadi pembicara dalam Bedah Buku Diksi Rupa ini. Mereka adalah Prof. Drs. Mukh. Doyin, dosen (profesor) sastra serta kandidat doktor linguistik FBS UNNES, Kemudian Mujiyono SPd, MSn, Dosen Seni Rupa Jurusan Seni Rupa FBS UNNES serta Galih Pratama, mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual FBS UNESS.
Bertindak sebagai moderator acara Bedah Buku Diksi Rupa ini adalah Drs. Purwanto MPd yang juga menjadi Kaprodi Seni Rupa FBS UNNES. Acara Bedah Buku Diksi Rupa didahului dengan hiburan akustik serta pembacaan puisi oleh Ketua HIMA Seni Rupa FBS UNNES Sufan Andi Lukman.
Sebelumnya rombongan Mikke Susanto dkk diterima dengan hangat di ruang Kepala Jurusan Seni RupaFBS UNNES Drs. Syafi’i MPd yang didampingi Sekretaris Jurusan Seni Rupa Supadmo MPd. Beragam isu dibicarakan dalam pertemuan ini antara lain isu lukisan palsu, informasi terkini soal Cemeti Art House serta website Mikke Susanto bersama Jogjanews.com.
Drs, Syafi’i MPd mengatakan acara Bedah Buku Diksi Rupa Mikke Susanto adalah kegiatan yang sangat positif untuk menjadi penyeimbang antara praktek penciptaan karya dan proses ilmiah bagi mahasiswa.
Acara Bedah Buku Diksi Rupa ini akan mengasah pemikiran akademik mahasiswa seni rupa FBS UNNESS. “ Acara ini bagus untuk penalaran mahasiswa seni rupa yang lebih konsentrasi pada kegiatan pada penciptaan karya seni rupa,” kata Syafi’i.
Menurut Syafi’i, pihaknya akan terbuka untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk menjalankan kegiatan serupa. “Misalnya mas Mikke Susanto punya buku baru lagi, kita terbuka untuk bekerjasama lagi,” terang Syafi’i.
Sementara itu Mikke Susanto antara lain menjelaskan mengenai posisi buku Diksi Rupa yang ia ciptakan ini masih menjadi satu-satunya di Indonesia yang mengetengahkan pengertian-pengertian seni rupa dan gerakan seni rupa Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh karya orang barat.
Namun menurut Mikke Susanto, buku Diksi Rupa ini tidak dimaksudkan untuk melawan dominasi orang-orang Barat tersebut tapi akan saling melengkapi sehingga bisa menjadi bahan pengetahuan bersama.
“Buku Diksi Rupa sudah memasuki edisi II. Edisi I berjumlah 1000 eksemplar sudah habis. Yang 600 terjual di Bali yang 400 di Surabaya,” terang Mikke Susanto.
Sementara Mujiyono dalam pembahasan buku menjelaskan istilah-istilah yang tersaji dalam buku Diksi Rupa merupakan wadah yang memiliki makna atas isi. Isi atau makna ini yang paling penting karena syfat bentuk makna yang abstrak rawan penyelewengan, pengaburan dll.
Secara ideal, keberadaan buku Diksi Rupa bermanfaat secara akademik ketika mengkaji dan menciptakan karya (skripsi/TA). Kandungan di dalam buku Diksi Rupa dapat dijadikan sandaran konsep, konstruksi, proposisi maupun teoritik yang valid.
“Hal ini menjadi relevan membantu mahasiswa yang sering kali terkendala mencari landasan argumentatif dan rasional dalam proses akademiknya sehingga hasilnya dapat menjadi lebih ilmia, ekstentif serta jelas,” terang Mujiyono.
Kritik Mujiyono terhadap buku Diksi Rupa adalah kadang-kadang ada entry yang kata-kata penjelasnya masih umum meski sebenarnya masih bisa dijelaskan langsung dalam konteks kesenirupaan.
“Misalnya dalam kata ‘distraksi’, distorsi’, ‘deformasi’, ‘stilasi’yang hanya menyebutkan keadaan dibengkokkan. Keadaan tersebut kurang terjelaskan lebih operasional dalam konteks seni. Begitu pula entry subject matter sebenarnya dapat lebih diejlaskan dengan contoh yang lebih detail dan komplit,” terang Mujiyono.
Sementara itu Prof. Mukh Doyin memberi beberapa catatan tentang cara penyampaian informasi kandungan buku Diksi Rupa karya Mikke Susanto. Pertama, konsistensi penyajian beberapa bagian masih belum ditemukan. Ada kalanya satu istilah dijelaskan secara panjang lebar, ada kalanya pula hanya dijelaskan dengan dua atau tiga kata.
Hal ini tidak menjadi persoalan jika pertimbangannya adalah kecukupan informasi. Namun tampaknya ada beberapa penjelasan istilah yang tidak berdasarkan pertimbangan kecukupan informasi itu.
Ada tokoh-tokoh yang tidak disertai fotonya, ada pula yang tidak. Selain itu ada juga hal yang tidak harmonis dalam rujukan.Istilah Realisme Klasik merujuk pada Classic Realism namun sebelumnya istilah Cynical Realism merujuk pada Realisme Sinis.
Catatan yang lain adalah beberapa istilah penting seperti strukturalisme, semiotika, hermeneutika dan difusi budaya tidak secara langsung dikaitkan dengan dunia seni rupa. Semiotika, misalnya lebih banyak diuraikan asal-usulnya yaitu dari linguistik dan sedikit melebar ke sastra. Bagaimana semiotika dalam seni rupa?
Sedang Galih Pratama lebih membahas buku Diksi Rupa karya Mikke Susanto pada aspek desain visual buku. Galih Pratama mengatakan buku Diksi Rupa kalau dilihat sepintas adalah buku yang tebal dan berat.
Tapi ketika dipegang ternyata sangat ringan untuk bisa dibawa. Secara teknis hal ini bisa terjadi karena pertimbangan penggunaan kertas buku. Halaman buku menggunakan kertas book paper dengan gramasi sekitar 55 gr dengan dimensi 15,7 x 23 cm dan tebal 3 cm. Sampul buku menggunakan kertas art karton yang cukup tebal dan sisi mukanay dilaminasi dengan doff.
Mengenai entry dalam buku Diksi Rupa ini, Galih Pratama mengatakan berkaitan dengan seni lukis, gambar, desain, patung, grafis, kriya, seni rupa kekinian seperti street art, new media art, instalasi dan performance. Juga arsitektur, fotografi dan seni rupa tradisional. Selain itu dicantumkan pula ideologi, aliran, gerakan, tokoh, kelompok dan organisasi seni yang berpengaruh pada seni rupa Indonesia dan global.
“Penjelasan entry di buku ini hanya menyebutkan hal-hal esensial dan penting yang perlu diketahui pembaca. Penjelasannya tidak terlalu rumit, sehingga menghemat halaman dan tidak membosankan untuk dibaca,” terang Galih Pratama.
Terhadap semua pembahasan dan catatan terhadap buku Diksi Rupa yang ia ciptakan, Mikke Susanto mengucapkan terima kasih. Kritik dan saran yang diberikan pembicara menjadi energi positif bagi dirinya untuk memperbaiki buku Diksi Rupa di masa depan.
“Terima kasih kepada semua kritik kepada buku Diksi Rupa ini. Ini menjadi energi saya energi yang positif tentunya. Pembicara disini sedang mentransfer energi positif kepada saya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan. Entah satu tahun atau lima tahun mendatang, tergantung dari kualitas hidup penulisnya,” terang Mikke Susanto.
Bedah buku Diksi Rupa ini adalah kegiatan akademik kerjasama antara Mikke Susanto bersama FBS UNNES yang dikerjakan Himpunan Mahasiswa (HEMA) Jurusan Seni Rupa FBS UNNES dengan Fitri Indah Susanti sebagai ketua panitia.
Selain Mikke Susanto sebagai nara sumber, juga ada tiga nara sumber yang menjadi pembicara dalam Bedah Buku Diksi Rupa ini. Mereka adalah Prof. Drs. Mukh. Doyin, dosen (profesor) sastra serta kandidat doktor linguistik FBS UNNES, Kemudian Mujiyono SPd, MSn, Dosen Seni Rupa Jurusan Seni Rupa FBS UNNES serta Galih Pratama, mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual FBS UNESS.
Bertindak sebagai moderator acara Bedah Buku Diksi Rupa ini adalah Drs. Purwanto MPd yang juga menjadi Kaprodi Seni Rupa FBS UNNES. Acara Bedah Buku Diksi Rupa didahului dengan hiburan akustik serta pembacaan puisi oleh Ketua HIMA Seni Rupa FBS UNNES Sufan Andi Lukman.
Sebelumnya rombongan Mikke Susanto dkk diterima dengan hangat di ruang Kepala Jurusan Seni RupaFBS UNNES Drs. Syafi’i MPd yang didampingi Sekretaris Jurusan Seni Rupa Supadmo MPd. Beragam isu dibicarakan dalam pertemuan ini antara lain isu lukisan palsu, informasi terkini soal Cemeti Art House serta website Mikke Susanto bersama Jogjanews.com.
Drs, Syafi’i MPd mengatakan acara Bedah Buku Diksi Rupa Mikke Susanto adalah kegiatan yang sangat positif untuk menjadi penyeimbang antara praktek penciptaan karya dan proses ilmiah bagi mahasiswa.
Acara Bedah Buku Diksi Rupa ini akan mengasah pemikiran akademik mahasiswa seni rupa FBS UNNESS. “ Acara ini bagus untuk penalaran mahasiswa seni rupa yang lebih konsentrasi pada kegiatan pada penciptaan karya seni rupa,” kata Syafi’i.
Menurut Syafi’i, pihaknya akan terbuka untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk menjalankan kegiatan serupa. “Misalnya mas Mikke Susanto punya buku baru lagi, kita terbuka untuk bekerjasama lagi,” terang Syafi’i.
Sementara itu Mikke Susanto antara lain menjelaskan mengenai posisi buku Diksi Rupa yang ia ciptakan ini masih menjadi satu-satunya di Indonesia yang mengetengahkan pengertian-pengertian seni rupa dan gerakan seni rupa Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh karya orang barat.
Namun menurut Mikke Susanto, buku Diksi Rupa ini tidak dimaksudkan untuk melawan dominasi orang-orang Barat tersebut tapi akan saling melengkapi sehingga bisa menjadi bahan pengetahuan bersama.
“Buku Diksi Rupa sudah memasuki edisi II. Edisi I berjumlah 1000 eksemplar sudah habis. Yang 600 terjual di Bali yang 400 di Surabaya,” terang Mikke Susanto.
Sementara Mujiyono dalam pembahasan buku menjelaskan istilah-istilah yang tersaji dalam buku Diksi Rupa merupakan wadah yang memiliki makna atas isi. Isi atau makna ini yang paling penting karena syfat bentuk makna yang abstrak rawan penyelewengan, pengaburan dll.
Secara ideal, keberadaan buku Diksi Rupa bermanfaat secara akademik ketika mengkaji dan menciptakan karya (skripsi/TA). Kandungan di dalam buku Diksi Rupa dapat dijadikan sandaran konsep, konstruksi, proposisi maupun teoritik yang valid.
“Hal ini menjadi relevan membantu mahasiswa yang sering kali terkendala mencari landasan argumentatif dan rasional dalam proses akademiknya sehingga hasilnya dapat menjadi lebih ilmia, ekstentif serta jelas,” terang Mujiyono.
Kritik Mujiyono terhadap buku Diksi Rupa adalah kadang-kadang ada entry yang kata-kata penjelasnya masih umum meski sebenarnya masih bisa dijelaskan langsung dalam konteks kesenirupaan.
“Misalnya dalam kata ‘distraksi’, distorsi’, ‘deformasi’, ‘stilasi’yang hanya menyebutkan keadaan dibengkokkan. Keadaan tersebut kurang terjelaskan lebih operasional dalam konteks seni. Begitu pula entry subject matter sebenarnya dapat lebih diejlaskan dengan contoh yang lebih detail dan komplit,” terang Mujiyono.
Sementara itu Prof. Mukh Doyin memberi beberapa catatan tentang cara penyampaian informasi kandungan buku Diksi Rupa karya Mikke Susanto. Pertama, konsistensi penyajian beberapa bagian masih belum ditemukan. Ada kalanya satu istilah dijelaskan secara panjang lebar, ada kalanya pula hanya dijelaskan dengan dua atau tiga kata.
Hal ini tidak menjadi persoalan jika pertimbangannya adalah kecukupan informasi. Namun tampaknya ada beberapa penjelasan istilah yang tidak berdasarkan pertimbangan kecukupan informasi itu.
Ada tokoh-tokoh yang tidak disertai fotonya, ada pula yang tidak. Selain itu ada juga hal yang tidak harmonis dalam rujukan.Istilah Realisme Klasik merujuk pada Classic Realism namun sebelumnya istilah Cynical Realism merujuk pada Realisme Sinis.
Catatan yang lain adalah beberapa istilah penting seperti strukturalisme, semiotika, hermeneutika dan difusi budaya tidak secara langsung dikaitkan dengan dunia seni rupa. Semiotika, misalnya lebih banyak diuraikan asal-usulnya yaitu dari linguistik dan sedikit melebar ke sastra. Bagaimana semiotika dalam seni rupa?
Sedang Galih Pratama lebih membahas buku Diksi Rupa karya Mikke Susanto pada aspek desain visual buku. Galih Pratama mengatakan buku Diksi Rupa kalau dilihat sepintas adalah buku yang tebal dan berat.
Tapi ketika dipegang ternyata sangat ringan untuk bisa dibawa. Secara teknis hal ini bisa terjadi karena pertimbangan penggunaan kertas buku. Halaman buku menggunakan kertas book paper dengan gramasi sekitar 55 gr dengan dimensi 15,7 x 23 cm dan tebal 3 cm. Sampul buku menggunakan kertas art karton yang cukup tebal dan sisi mukanay dilaminasi dengan doff.
Mengenai entry dalam buku Diksi Rupa ini, Galih Pratama mengatakan berkaitan dengan seni lukis, gambar, desain, patung, grafis, kriya, seni rupa kekinian seperti street art, new media art, instalasi dan performance. Juga arsitektur, fotografi dan seni rupa tradisional. Selain itu dicantumkan pula ideologi, aliran, gerakan, tokoh, kelompok dan organisasi seni yang berpengaruh pada seni rupa Indonesia dan global.
“Penjelasan entry di buku ini hanya menyebutkan hal-hal esensial dan penting yang perlu diketahui pembaca. Penjelasannya tidak terlalu rumit, sehingga menghemat halaman dan tidak membosankan untuk dibaca,” terang Galih Pratama.
Terhadap semua pembahasan dan catatan terhadap buku Diksi Rupa yang ia ciptakan, Mikke Susanto mengucapkan terima kasih. Kritik dan saran yang diberikan pembicara menjadi energi positif bagi dirinya untuk memperbaiki buku Diksi Rupa di masa depan.
“Terima kasih kepada semua kritik kepada buku Diksi Rupa ini. Ini menjadi energi saya energi yang positif tentunya. Pembicara disini sedang mentransfer energi positif kepada saya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan. Entah satu tahun atau lima tahun mendatang, tergantung dari kualitas hidup penulisnya,” terang Mikke Susanto.
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar disini, yang sopan ya ! :)